Apa sih Enaknya Mendaki Gunung?


Apa sih enaknya naik gunung? Dapat capeknya doang, ribet bawa barang-barang, harus camping, fasilitas terbatas, susah sinyal hape, kotor pula. Huftt… Itu mungkin pertanyaan orang yang belum pernah naik gunung. Saya juga merasakannya. Butuh waktu 15 tahun bagi saya untuk meyakinkan diri mendaki gunung untuk kedua kalinya karena selalu saja terlintas pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Memang tak salah dengan semua pertanyaan-pertanyaan bernada pesimis tersebut, naik gunung itu melelahkan, barang yang harus dibawa banyak, hidup dalam keterbatasan, sinyal ponsel susah, dan harus berkotor-kotor ria. Tidak bisa dipungkiri, kenyataan memang benar demikian adanya. Mendaki gunung memang kegiatan yang berat dan penuh risiko. Bahkan sesampainya di puncak gunung pun masih belum puas! Nah lo… terus di mana letak nikmatnya naik gunung? Adakah manfaat mendaki gunung sehingga begitu banyak orang sampai ketagihan mendaki gunung?
Sebagai penganut paham lazy traveling, prinsip saya adalah kalau bisa traveling itu semalas-malasnya namun mendapatkan kepuasan semaksimal mungkin hehehe. Dan saya berada di comfort zone tersebut sehingga selalu menghindari pendakian gunung. Selama ini, saya selalu mengutamakan laut dan pantai dalam bucket list tempat-tempat wisata yang ingin saya kunjungi. Mengapa? Tak begitu banyak usaha untuk mencapai spot-spot wisata di pantai. Perjuangannya minim, barang yang dibawa tak terlalu banyak, kenikmatannya pun luar biasa menggelora.
Akhirnya, titik jenuh itu pun tiba. Terakhir sebelum naik gunung, saya pergi ke Pulau Tunda untuk sekedar say hello kepada teruimbu karang. Nyebur ke laut yang biasanya membuat saya merasa “This is the place where i belong”, kali itu terasa hampa. Tak ada birahi melihat terumbu karang dan ikan nemo yang menari begitu lucunya di anemon. Sentuhan air laut ke kulit pun tak mampu tak memberi sinyal kenikmatan ke otak. Sepertinya hati ini menginginkan sesuatu yang lain “Bagaimana jika mencoba sesuatu yang selana ini kamu hindari: mendaki gunung.”
Setelah 15 tahun merasa trauma mendaki gunung, anak pantai itupun murtad dengan mengkhianati pantai dan mencoba sesuatu yang “baru” walaupun bukan yang pertama yang pernah dia lakukan, yaitu mendaki gunung. Definisi mendaki di sini adalah berjalan kaki minimal 3 jam dari bawah sampai puncak gunung. Kurang dari itu, saya anggap wisata gunung hore, contohnya adalah wisata gunung bromo yang tak terlalu banyak usaha untuk menggapai puncaknya. Sebagai orang yang tinggal di Indonesia, kita patut bersyukur dikaruniai  banyak sekali gunung yang bisa didaki. Jumlah gunung di Indonesia lebih dari 120 buah lho, mengapa tidak mencoba mendakinya?
Tak murah ternyata menjadi anak gunung. Harus membeli tas gunung carrier/keril, sleeping bag, matras, jaket yang bisa menahan dingin dan angin, celana yang nyaman untuk naik gunung (selama ini celana panjang yang saya punya hanya celana jeans dan celana kerja), sarung tangan, senter, dan peralatan lainnya. Untung saya masih punya sepatu olahraga yang bisa dipakai untuk mendaki gunung, dan juga mendapat tenda pinjaman dari teman. Jika tidak? Biaya mendaki gunung bakal lebih membengkak lagi.
Mendaki gunung itu lebih berat dibanding wisata pantai. Saya bisa bilang IYA. Mendaki gunung yang terkenal sebagai gunung paling mudah untuk pendaki pemula, yaitu Gunung Gede, saja bagi saya lebih berat dibanding wisata pantai terempong yang pernah saya jalani, yaitu pantai Ujung Kulon. Berjalan kaki dengan jalur menanjak dan menurun dengan membawa barang yang superberat selama total 20 jam pergi pulang bukanlah sesuatu yang ringan untuk dijalani. Membangun tenda dan tidur di tenda lebih menyiksa dibanding tidur di kasur penginapan di pulau. Tidak adanya sinyal di gunung juga membuat kita tidak bisa langsung live report jalan-jalan kita melalui media sosial. Makan seadanya, mandi seadanya, buang air besar/kecil di semak-semak, dan keribetan yang berbeda dengan apa yang kita jalani sehari-hari tentu saja akan semakin berat jika kita tidak menikmatinya. Mengubah kebiasaan itu susah.
Ya, mengubah kebiasaan dari normal menjadi abnormal tentu saja membuat jiwa kita terguncyang sesaat. Awalnya seperti ada penolakan-penolakan dari pikiran. Mengapa sih harus repot-repot membawa barang-barang segambreng begini. Bikin encok punggung dan pegal pundak saja. Kapok kah saya dan para pendaki mengalami guncangan-guncangan kecil dalam hidupnya ini? Tentu tidak. Bahkan semakin membuat ketagihan untuk mendaki dan mendaki lagi!
Satu persatu kenikmatan mendaki gunung mulai muncul. Tak hanya pemandangan indah yang menyegarkan mata, namun juga rasa persaudaraan antar pendaki gunung yang meluluhlantakkan hati yang mudah rapuh ini *halah*. Hal yang paling kecil, seperti saling bertegur sapa antar pendaki walaupun kita tidak mengenalnya, membuat kita merasa tidak sendirian di dunia ini. Saling membantu ketika ada yang terluka. Saling menunggu ketika ada yang kelelahan. Saling memberi air minum ketika ada yang kehausan. Semua terasa menyenangkan. Humanity restored.
Awalnya saya mengira bahwa kepuasan naik gunung itu adalah saat sampai di puncak gunung. Perjuangan panjang melelahkan tersebut dibayar dengan pemandangan yang menakjubkan di atas gunung. Ternyata pendapat tersebut tak sepenuhnya benar. Memang sih, saat berada di puncak gunung, hati ingin berteriak “AKU BERHASIL, AKU BISA, I’M THE KING OF THE WORLD!!!WOOHOO!!”. Sangat puas karena usaha keras kita menuju puncak tercapai. Pemandangan di atas gunung pun juga luar biasa menakjubkan. Hamparan awan menghiasi lereng gunung di bawah kaki kita, matahari terbit yang begitu mempesona, gersangnya tanah di puncak gunung yang eksotis, bintang begitu gemerlap di atas langit, serta tanaman khas pegunungan yang jarang kita temui di dataran rendah. Nikmat apa lagi yang kau ingkari?
Namun, kata teman saya yang seorang pendaki berpengalaman menyebutkan lain. Kepuasan sesungguhnya mendaki gunung itu justru ketika kita sampai kembali di rumah. Ketika saya merasakannya sendiri, pendapat teman saya tersebut memang 100% benar. Kasur menjadi barang yang sangat istimewa sekali. Tiduran di atas kasur menjadi sesuatu yang luar biasa nikmat! Kembali ke pertanyaan awal, ketika ditanya apa sih enaknya naik gunung? Jawabannya adalah saat tidur di kasur sekembali dari mendaki gunung! Bantal yang biasa kita pakai terasa sangat empuk. Kasur yang tak seberapa bagus juga terasa begitu nyaman. Semua serba menyenangkan ketika kita kembali ke kehidupan yang normal.
Kenikmatan naik gunung belum sampai di situ. Ketika badan begitu pegal, pergilah ke tukang pijat/reflexiology/spa. Rasanya begitu menyenangkan. Tubuh kita yang selama ini tak pernah kita perhatikan, kini menjadi raja sehari. Setelah pijat, tubuh terasa sangat enteng seperti mau terbang *mulai lebay*. Tapi beneran, tubuh serasa sangat ringan, bugar, semua penat berubah menjadi rasa nikmat. Hell yeah…
Rasa syukur bertubi-tubi setelah turun dari gunung merupakan jawaban yang paling tepat untuk merangkum semuanya. Rasa syukur bahwa kita diberi kesempatan menyaksikan mahakarya alam dari atas gunung. Rasa syukur kita telah kembali ke rumah dengan selamat. Rasa syukur kita masih diberi kesehatan dan kekuatan yang luar biasa bisa mendaki sampai ke puncak gunung. Rasa syukur bahwa kita telah mengalahkan rasa takut dan putus asa yang selalu menghantui saat mendaki gunung. Dan rasa syukur kita diingatkan kembali bahwa kita tidak boleh sombong, bahwa kita ini hanyalah butiran debu mikroskopis di alam. Menurut kamu, apa sih enaknya mendaki gunung?